Monday, November 1, 2010

Trio Detektif - Misteri Warisan Hitchcock 04

BAB IV
TRIO DETEKTIF DI INGGRIS

Dua hari kemudian pesawat Trio Detektif melakukan pendaratan di Bandara Heathrow, London. Anak-anak dengan mudah memperoleh izin dari orangtua mereka begitu mereka menjelaskan bahwa mereka sedang menolong putri Alfred Hitchcock. Tidak ada kejadian menarik selama penerbangan, selain goncangan kecil akibat badai yang mendekati London, yang hampir saja membuat Pete mabuk udara. Akhirnya pesawat itu mendarat dan mereka berlima masuk ke sebuah limousine yang sudah menanti, mengobrol penuh semangat.
Ben Hitchcock sudah tidak sabar menunjukkan kota bersejarah itu dengan segala atraksinya kepada Trio Detektif.
"Apakah sebaiknya kita menghabiskan hari ini melihat-lihat kota, Teman-teman?" ia bertanya kepada teman-teman barunya dengan bergairah.
"Sudah lama aku ingin melihat Menara London!" seru Bob.
"Aku ingin melihat Big Ben!" seru Pete.
"Aku ingin melihat tempat tinggal kedua Mr. Hitchcock yang berada di luar London," kata Jupe tegas. "Kita akan punya waktu untuk melihat-lihat begitu kita telah berhasil memecahkan teka-teki ini. Kita hanya ada di sini seminggu, jadi mari kita manfaatkan sebaik-baiknya."
Pete menyikut Ben. "Biasakan kalah suara dari Jupe," katanya. "Aku dan Bob selalu mengalaminya!"
"Jadi begitulah demokrasi yang sebenarnya di Amerika," canda Ben.
Anak-anak dan Patricia tertawa sementara limousine meluncur masuk ke kabut London yang dingin.
Satu jam kemudian mobil itu telah keluar dari kota yang sibuk itu tepat ketika matahari mulai terbenam. Dengan cahaya kilat yang sebentar-sebentar menyambar anak-anak dapat melihat bahwa mereka telah memasuki suatu jalan pedesaan dengan rumah-rumah sederhana. Kebisingan kota telah digantikan oleh suasana yang lebih asri dan tenang.
"Sungguh aneh rasanya berjalan di sisi yang salah dari jalan," kata Pete.
"Itulah yang kurasakan ketika berada di negaramu," kata Ben. "Di sini sisi kiri -- the left side -- adalah sisi yang benar -- the right side."
"Rumah musim panas Ayah ada di jalan ini juga," kata Patricia. "Tidak akan lama lagi."
Limousine berbelok memasuki sebuah jalan tanah yang sempit dan dijaga oleh semak-semak yang terpangkas rapi dalam wujud singa. Ketika mereka mendekati rumah itu, Pete menahan nafas.
"Nah, inilah yang ada di bayanganku tentang rumah Mr. Hitchcock!" serunya.
Jupe dan Bob berdesakan melihat melalui jendela di sebelah Pete. Rumah di depan mereka sebenarnya sama sekali tidak seperti rumah ... jauh lebih menyerupai sebuah puri! Dinding-dindingnya yang tinggi tersusun dari batu-batu halus berwarna abu-abu dan tertutup tumbuhan merambat yang tebal. Jendela-jendelanya merupakan mosaik yang nampak seolah-olah berasal dari sebuah gereja kuno berabad-abad yang lalu. Di bawah langit yang berwarna ungu suram dan di tengah kabut yang bergulung-gulung mudah saja bagi anak-anak untuk membayangkan segala macam hantu dan roh yang berkeliaran di balik dinding-dinding rumah besar itu.
"Jupe, Pete, Bob ... selamat datang di Puri Hitchcock," Ben menyeringai.
"Aku lebih suka kediamannya yang satu lagi," Pete menggigil. "Yang ini memberiku kesan seram!" Di kejauhan kilat menyambar seolah-olah setuju dengan Penyelidik Kedua.
Patricia menepuk bahu Pete sementara mereka keluar dari mobil. "Ayah selalu berkata bahwa rumah ini berhantu namun sebenarnya tidak seburuk kelihatannya," katanya menenangkan. "Di dalam sebenarnya cukup nyaman. Lihat saja nanti."
"Rumah ini memang berhantu!" sebuah suara dengan aksen Inggris yang kental menggeram di tengah kegelapan.
"Siapa itu?" Patricia yang kaget berseru. "Winston, kaukah itu?"
Dari sudut rumah muncul seorang pria kira-kira berumur lima puluh tahun dengan kumis lebat, berjalan terpincang-pincang. Ia mengenakan semacam topi tak berbentuk di kepalanya dan menggenggam sebatang tongkat berliku di tangan kanannya. Cambangnya lebat dan menyatu dengan berewok tipis hitam beruban yang menutupi wajahnya. Ia menuding dengan tongkatnya ke arah mereka.
"Rumah ini memang berhantu! Arwah Molly Thibidoux, seorang pelayan yang menggantung diri dari pohon willow besar di belakang rumah, lebih dari seratus tahun yang lalu," katanya serak. "Tunangannya meninggalkannya demi seorang wanita lain. Karena sedih Molly muda bunuh diri. Sekarang arwahnya berkeliaran di dinding-dinding Puri Hitchcock, menunggu tunangannya kembali ke pelukannya!"
"Jebediah O' Connell!" tukas Patricia. "Hentikan omong kosong itu sekarang! Begitukah caramu menyambut tamu-tamu kita?"
"Tentu saja aku akan menyambut tamu kita," Jebediah O'Connell mencibir, "namun demi keselamatan mereka sendiri aku memperingatkan mereka tentang hantu itu! Ia adalah yang berbahaya! Orang Jerman menyebutnya poltergeist -- hantu yang suka membuat keributan!"
Patricia menoleh ke arah anak-anak sambil bertolak pinggang. "Jangan pedulikan sepupuku Jeb," perintahnya. "Ia adalah pembuat onar nomor satu dan hanya berusaha menakut-nakuti kalian ... ia tidak suka akan anak-anak."
"Ini kataku," bisik Ben kepada Jupiter. "Sejujurnya aku tidak mempercayai Paman Jeb. Ingat kata-kataku ini, ia punya maksud tidak baik!"
"Mari, Anak-anak," kata Patricia, "masukkan barang-barang kalian."
"Gagasan yang baik," kata Jupe setuju. "Saya berharap bisa ada kemajuan dalam teka-teki ayah Anda sebelum kita tidur."
"Ah, teka-teki yang kocak," kata Jebediah sambil mengikuti mereka ke dalam. Lelaki aneh itu menutup pintu oak besar di belakang mereka, menimbulkan bunyi gemuruh yang membuat mereka semua terlompat. "Kita sebaiknya memberi tahu arwah itu bahwa kalian ada di sini," ia menyeringai licik.
Patricia menatap sepupunya dengan marah. "Cukup sudah, Jebediah! Kau tidak pernah tahu kapan kau telah melampaui batas."
Jeb mengangkat bahu, memasukkan tangannya ke dalam saku, dan terpincang-pincang menaiki tangga. "Aku akan ada di kamar seandainya kalian nanti terbangun oleh sesuatu," gumamnya. "Hidup atau mati!"
"Maaf, Anak-anak," kata Patricia.
"Tidak perlu minta maaf, ma'am," jawab Jupiter. "Kami juga tidak percaya akan hantu, benar kan, Teman-teman?"
"Jupe benar," kata Bob tersenyum. "Kami tidak semudah itu ditakut-takuti ... benar kan, Pete?"
"Apa katamu lah," kata Pete, suaranya gemetar. "Mungkin aku takkan bisa tidur sampai kita ada di pesawat lagi!"
"Ah, tidur," kata Ben mengantuk. "Entahlah dengan kalian, Teman-teman, namun aku benar-benar lelah."
"Jet-lag," kata Jupiter sambil menguap. "Perubahan wilayah waktu telah membuat pola tidur kita berantakan. Sekarang baru setengah sembilan namun kurasa kita harus menunggu hingga besok untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh baris berikutnya dalam teka-teki," katanya enggan. "Ayo, Teman-teman, kita tidur."
Anak-anak dan Ben meraih bawaan masing-masing dan berbaris menaiki tangga lebar yang diterangi cahaya samar-samar. Mereka baru separuh jalan ketika sebuah teriakan membuat mereka berhenti seketika.
"Seperti suara Jebediah!" seru Ben.
Anak-anak menjatuhkan tas-tas mereka dan berlari ke lantai dua, diikuti oleh Patricia.
Di tengah-tengah tangga antara lantai dua dan tiga mereka menemukan Jebediah O'Connell terduduk. Kilat menyambar dan pria itu meringkuk seperti anak kecil.
"Hantu!" katanya tersengal-sengal, menunjuk dengan jari gemetar ke tangga gelap yang menuju ke lantai tiga. "Aku melihat hantu itu di atas tangga ini ... berpendar di kegelapan dengan seutas tali di lehernya!"
Patricia nampak sangat marah. "Sepupu, jika ini adalah semacam permainan ...."
"Bukan, Sepupu Patty!" tukasnya, menuding ke atas lagi. "Aku benar-benar melihatnya!"
"Ada apa di lantai tiga, ma'am?" tanya Jupiter kepada Patricia.
"Orangtuaku jarang naik ke lantai tiga," kata wanita itu. "Hanya untuk tempat menyimpan barang. Bahkan tidak ada pemanas di atas sana." Ia mencoba saklar lampu di dasar tangga namun tangga besar itu tetap gelap. "Rusak. Mungkin bola lampu di atas tidak pernah diganti selama bertahun-tahun."
"Anda punya senter?" tanya Jupiter, naik beberapa anak tangga menuju ke kegelapan.
"Akan kuambilkan," Ben menawarkan diri. Remaja itu berlari menuruni tangga. Mereka mendengar pintu lemari dibuka dan ditutup di dapur dan kemudian langkah-langkah berlari menaiki tangga. "Aku cuma menemukan satu," katanya sambil menyerahkan senter kepada Jupiter. "Tapi ini ada beberapa batang lilin."
Mereka menyalakan lilin dan, dengan Jupiter memimpin di depan, maju menaiki anak tangga yang berderit. Di luar kilat dan guruh menyambar dan menggelegar, membuat mereka tidak ingin jauh-jauh dari yang lain.
Setengah jam kemudian mereka telah memeriksa lantai tiga dengan seksama dan tidak menemukan apa-apa selain kotak-kotak berdebu dan peti-peti bersarang laba-laba. Mereka memeriksa peti-peti itu untuk memastikan tidak ada yang bersembunyi di dalam namun peti-peti itu terkunci atau berisi pakaian.
"Jika tadi ada yang menaiki tangga, ia pastilah masih di sini," kata Bob. "Karena tidak ada jalan keluar lain selain melalui tangga."
"Kecuali kalau ia adalah hantu!" kata Pete.
"Ya," kata Jebediah setuju. "Seperti yang kukatakan tadi!"
"Tidak ada yang namanya hantu," kata Jupiter keras kepala. "Pastilah ada jalan keluar lain di sini. Suatu jalan rahasia. Ben, Patricia, kalian tahu akan adanya jalan rahasia di rumah ini?"
"Aku tahu ada beberapa," kata Patricia. "Dulu aku sering bermain dengan jalan-jalan rahasia itu ketika masih kecil. Tapi itu sudah demikian lama, aku bahkan tidak bisa mengingat lagi letaknya. Kita harus bertanya kepada Julia, pelayan Ayah. Ia sudah bekerja di sini selama hampir tiga puluh tahun. Jika memang ada jalan rahasia di lantai ini, ia tentunya tahu."
"Besok pagi-pagi kita tanya dia," kata Jupiter memutuskan. "Sekarang mari benar-benar tidur. Aku sudah tidak kuat lagi menahan kantuk!"
"Siapa yang mengantuk?" kata Pete. "Kurasa meskipun aku ingin, aku takkan bisa tidur!"
Namun Pete salah. Begitu kepala mereka menyentuh bantal, dengan cepat mereka terlelap.
Next Chapter

No comments:

Post a Comment