Monday, November 1, 2010

Trio Detektif - Misteri Cakar Perunggu 08

BAB VIII
SERULING BELANDA

"Ya ampun!" seru Pete. "Bagaimana benda itu bisa kembali sendiri?"
Jupiter mengambil cakar elang yang telah aus itu dan mengangkatnya di bawah cahaya lampu. "Aku tidak tahu, Dua, namun aku jelas ingin tahu!"
"Pasti itulah yang dilakukan Pria Berpakaian Hitam hari ini," tebak Bob, "mengembalikan Cakar Perunggu ke dalam peti."
"Tapi mengapa?" desak Pete. "Sama sekali tidak masuk akal. Mengapa bersusah-payah mencurinya hanya untuk mengembalikannya lagi?"
Anak-anak terdiam beberapa saat sambil berpikir mengenai hal ini. "Mungkin pemalsuan," kata Bob menduga. "Mungkin Pria Berpakaian Hitam mengambilnya cukup lama untuk membuat tiruannya dan menyimpan cakar yang asli."
Jupiter menggeleng. "Tidak mungkin. Cakar ini nampak sangat tua. Perunggunya telah menghijau dan penuh ganggang. Cakar ini jelas telah berada di dalam air selama bertahun-tahun. Hal ini tidak mungkin dipalsukan."
"Mau kita apakan benda ini sekarang?" tanya Pete. "Kita tidak mungkin membiarkannya di dalam peti."
Jupiter tersenyum nakal dan berpaling menuju kapal pamannya. "Aku punya ide."

***

Pagi harinya Jupiter bangun pagi dan meraba bagian bawah kantung tidurnya dengan kaki. Cakar Perunggu masih ada. Ia meraihnya dan menimang-nimangnya. "Bagaimana dan mengapa kau kembali?" ia bergumam. Beberapa saat kemudian Jupe membangunkan Bob dan Pete dan ketiga anak itu berbaris masuk untuk sarapan. Jupe membawa cakar itu di balik punggungnya.
Titus dan Atticus sedang duduk di meja dapur yang penuh barang-barang kelautan. Bibi Mathilda telah bersikeras agar benda-benda itu disingkirkan, paling tidak cukup untuk piring-piring dan perangkat makan lainnya -- dan ia jelas tidak senang melihat kurangnya ruangan untuk memasak di kompor dan meja dapur.
"Demi langit!" gerutunya sambil menuangkan mentega ke dalam panci. "Aku sungguh tidak mengerti bagaimana kau bisa memasak dengan segala rongsokan ini, Atticus Jones!"
Atticus menurunkan surat kabarnya dan mengisap pipanya dalam-dalam. Ia tersenyum kepada anak-anak ketika mereka masuk melalui pintu belakang, lalu kembali menghilang di balik koran.
Jupiter melirik Paman Titus yang sedang sibuk membaca halaman humor. Sambil mengedip ke arah Bob dan Pete, ia diam-diam meletakkan Cakar Perunggu di tengah meja yang penuh sesak.
Bibi Mathilda membawa sepiring penuh tumpukan panekuk dan sosis panas ke meja. Ia menatap Cakar Perunggu dan mengerutkan kening, berkata kepada Jupiter dengan suara galak, "Cendera mata yang bagus, Anak-anak, tapi tolong singkirkan dari atas meja."
"Menurutku itu adalah hiasan yang cocok diletakkan di tengah meja," kata Jupiter, berusaha memasang tampang serius. "Mungkin beberapa kuntum bunga akan membuatnya lebih menarik. Apa pendapat Paman, Paman Atticus?"
Atticus Jones bergumam di balik surat kabarnya namun tidak mengalihkan pandangan dari berita utama. Bibi Mathilda tidak melihat kelucuan dalam gurauan Jupe. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, Anak Muda, tapi aku tidak pernah mengira kau akan mengambil resiko kehilangan sepiring panekuk panas hanya demi sebuah gurauan!"
Pete tidak tahan lagi dan tawanya meledak. Ia segera diikuti oleh Bob dan kemudian Jupiter. Segera saja ketiga anak itu berguling-guling di lantai, tertawa terbahak-bahak. Bibi Mathilda berdiri dengan mulut ternganga, menyaksikan pemandangan itu. Titus dan Atticus akhirnya meletakkan koran mereka untuk melihat yang terjadi.
Sekonyong-konyong mata Atticus Jones melotot dan ia melompat berdiri seolah-olah disengat lebah -- pipanya terjatuh dari mulutnya dan jatuh ke dalam sirup di piringnya. "Demi pipaku! Aku tidak percaya ini!" Ia mengangkat Cakar Perunggu dan memandanginya seolah-olah benda itu terbuat dari emas murni. "A-apa... Di-di mana..." ia tergagap.
Sambil masih terkekeh-kekeh, Jupiter menjelaskan betapa cakar itu telah kembali semalam dan kemudian meminta maaf kepada Bibi Mathilda atas gurauannya.
"Benda jelek itu adalah sumber segala masalah ini?" tukas Bibi Mathilda. "Itukah harta karun yang harus kita lihat sendiri sebelum percaya?"
"Hmm... begitulah!" jawab Atticus, mengangguk tanpa percaya. "Ditemukannya tiang haluan dari kapal ketiga Si Janggut Hitam, Balas Dendam, berarti kapal itu tenggelam di Pantai Barat, bukan Timur, atau kapal itu dijarah dan hartanya disembunyikan. Apapun yang terjadi, ini sangat berarti bagi sejarah!"
"Bagiku benda itu adalah barang rongsokan besar berwarna hijau," kata Titus. "Aku ingin barang-barang bekasku berguna, dengan demikian aku bisa mendapat keuntungan. Siapa yang mau mencuri benda seperti itu?"
Bibi Mathilda mendengus seraya membagikan panekuk kepada anak-anak. "Jelas mereka tidak menginginkannya jika mereka mengembalikannya lagi. Mungkin mereka menyadari bahwa benda itu hanyalah logam hijau tidak berharga."
Paman Atticus memainkan jemarinya di atas cakar itu dengan penuh kasih sayang dan tersenyum. "Sepertinya kasus ini sudah selesai ya? Berarti aku berhutang kepada kalian bertiga karena telah mengembalikan cakar Si Janggut Hitam. Begitu kan perjanjiannya?"
"Tidak, sir," kata Jupiter dengan mulut penuh panekuk. "Trio Detektif disewa untuk menemukan siapa yang mengambil cakar itu dan mengapa ia kemudian mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah. Cakar itu sudah kembali namun kita tetap belum tahu siapakah Pria Berpakaian Hitam dan mengapa ia menginginkannya." Jupiter mengigit panekuknya dan tersenyum. "Menurutku kasus ini baru saja dimulai!"
Pete mengerang sambil mengiris sosis. "Aku tahu kau akan berkata seperti itu."
Setelah sarapan, anak-anak menemani Atticus ke toko perkakas untuk membeli sebuah gembok yang dinyatakan tidak bisa dijebol, yang kemudian dipasangnya di peti yang menyimpan Cakar Perunggu.
Jupiter sudah gatal ingin melanjutkan penyelidikian namun begitu mereka tiba di rumah segera dikecewakan oleh Bibi Mathilda yang telah menyiapkan sederetan panjang tugas yang harus dikerjakan. Anak-anak tahu lebih baik tidak membantah bibi Jupe jika menyangkut pekerjaan. Dengan segan mereka mulai bekerja dan baru dua hari kemudian mereka mendapat kesempatan untuk membahas kasus itu secara panjang lebar.
Selama dua hari itu Jupiter telah menyusun potongan-potongan misteri itu di otaknya seperti sebuah teka-teki gambar, berusaha menyusun gambar yang benar. Penyelidik Pertama merasa potongan yang ada terlalu sedikit untuk membentuk gambar yang akurat. Pria Berpakaian Hitam belum muncul lagi sejak Bob dan Pete mengejarnya dua hari yang lalu dan keadaan wajar-wajar saja di tempat penelitian Oscar Cutter dan markas Perompak Baru dari Barat.
Jupiter berdiam diri sepanjang perjalanan mereka di bak belakang truk untuk melihat pameran Seruling Belanda. Bob dan Pete sudah terbiasa dengan rekan mereka yang penuh konsentrasi saat sedang menangani kasus. Mereka tahu lebih baik anak itu dibiarkan saja, ia akan bersuara jika ia telah yakin dan siap.
Sementara Paman Titus mengemudikan truk milik pangkalan barang bekas itu melalui kawasan niaga kota dan kemudian sepanjang jalan pantai ke luar kota, anak-anak merasa sungguh bergairah. Kini mereka dapat melihat tiang-tiang layar Seruling Belanda yang menjulang tinggi, layar-layarnya tergulung dan bendera-benderanya berkibar-kibar.
Namun semangat mereka segera menurun begitu mereka melihat lautan manusia yang bergerombol memenuhi dermaga dan landasan yang menuju ke kapal, semuanya ingin menaiki kapal mewah itu. Mobil-mobil antri sepanjang hampir setengah mil sepanjang sisi jalan dan lahan parkir kecil di sebelah dermaga penuh dengan turis yang berebut tempat parkir.
Paman Titus mengeluh namun terus mengemudi sepanjang jalan hingga menemukan tempat parkir yang cocok. Mereka melompat keluar dan mulai berjalan menuju jalan masuk ke kapal yang penuh orang. Bob nampak pesimis sementara mereka mendekati ekor antrian orang-orang yang hendak naik. Ia menggelengkan kepala sambil memasukkan segulung film baru ke dalam kameranya. "Wah, dengan semua orang ini di antrian kita tidak akan sempat naik."
"Jangan cemas, Robert," kata Atticus lantang. "Kulihat sahabatku Oscar Cutter." Adik Titus Jones itu melambaikan tangan dan bersuit untuk menarik perhatian Cutter. Peneliti tampan itu tersenyum dan balas melambai dari geladak kapal, memberi isyarat agak mereka langsung menuju ke depan antrian. Hal ini tidak bisa diterima oleh beberapa turis yang telah mengantri lama, berusaha menggendong anak mereka, kamera, dan botol minuman pada saat yang bersamaan. Mereka memprotes dengan suara keras ketika Trio Detektif dipersilakan naik.
"Wah, kita seolah-olah ada di Magic Mountain," tukas Pete.
Oscar Cutter menemui mereka di ujung jembatan kapal. Senyum yang dipamerkannya selama ini kepada para pengunjung segera lenyap. "Bencana!" serunya. "Benar-benar bencana! Lihatlah segala sampah yang mereka buang ke air! Tidak punya otakkah mereka? Makanan-makanan itu akan menarik ikan-ikan dan mereka akan mengeruhkan air. Pekerjaan seminggu akan terbuang percuma hanya demi suatu publisitas konyol!"
Mereka berdiri diam selama beberapa saat, tidak tahu harus berkata apa. "Tapi pikirkanlah segala donasi yang akan masuk," kata Jupiter. "Anda mungkin saja akan mendapatkan cukup dana untuk mempertahankan tempat ini paling tidak setahun lagi!"
Kapten Cutter nampak malu akan emosinya tadi. Ia tersipu-sipu dan mengusap rambutnya yang terbakar matahari. "Maaf. Kurasa aku hanya sedikit kesal akan orang-orang yang tidak peduli dan mengotori air. Maafkan aku. Sekarang bagaimana kalau kita mulai tur yang kujanjikan?"
Anak-anak mengangguk penuh semangat dan Oscar Cutter tersenyum tulus untuk pertama kalinya pagi itu. "Baiklah! Mari kita mulai dari bawah sehingga kita bisa jauh dari gerombolan itu." Peneliti itu meminta seorang awak kapal yang mengenakan baju kaos universitas untuk menggantikannya dan ia memimpin mereka ke bawah.
Selama sejam berikutnya anak-anak, Bibi Mathilda, Paman Titus, dan Atticus menikmati tur keliling Seruling Belanda yang mengagumkan. Bob mengambil gambar seperti hilang ingatan sementara mereka mendengarkan keterangan tentang dapur, ruang bagasi, kabin tempat tidur, dan berbagai ruang kapal khas lainnya, juga tentang para bajak laut yang pernah berlayar di atas kapal hebat itu.
Ketika mereka akhirnya muncul kembali ke geladak atas yang disinari matahari terik, anak-anak merasa kenyang akan segala informasi yang mereka serap dan Bibi Mathilda nampak lemah oleh kisah-kisah pertumpahan darah. Oscar Cutter menjabat tangan semua orang dan berterima kasih karena mereka telah datang berkunjung, memohon maaf sekali lagi atas emosinya.
"Jangan salah mengerti," katanya muram, "aku benar-benar menghargai niat baik universitas mengadakan pameran ini. Hanya saja orang-orang ceroboh itu..." suaranya menghilang seiring dengan tatapan aneh yang muncul di wajahnya yang terbakar matahari.
Jupiter mengikuti tatapan pria itu ke arah jalan masuk dan kerumunan yang bagaikan sirkus di bawah. Ia mengamat-amati puluhan wajah hingga akhirnya tatapannya jatuh pada seorang lelaki yang sedang bersandar di sebuah sedan hitam. Lelaki itu mengenakan topi hitam dan kaca mata gelap dan sepertinya menatap langsung ke arah mereka. Pria Berpakaian Hitam!
Next Chapter

No comments:

Post a Comment